Self-Healing Therapy dengan Menulis



Ada yang bilang, menulis itu butuh bakat khusus. Seorang penulis itu menang dari sananya sudah memiliki keahlian merangkai kata-kata. Menulis itu, yaaa hanya untuk penulis. 

Benarkah demikian? Faktanya, ada sebagian orang yang memang hobi menulis. Merekaa tidak terlalu memperhatikan ejaan yang harus baku, tidak pula memperhatikan susunan kata-kata. Paragraf demi paragraf mengalir begitu saja, murni karena mereka ingin mengekspresikan tentang apa yang dirasa.

Sebenarnya, setiap kita memiliki kemampuan menulis. Menulis itu ibarat kita sedang berbicara kepada diri kita yang lain. Ada kalanya kita merasa kesulitan untuk mengungkapkan hal-hal tertentu secara lisan, maka menulis bisa dijadikan terapi untuk mengeksplorasi perasaan.

Siapa yang tidak kenal dengan almarhum Bapak B.J. Habibie? Presiden Republik Indonesia ketiga tersebut pernah mengalami depresi berat setelah kepergian sang istri tercinta. Sumber Liputan 6 menyebutkan bahwa Pak Habibie mengalami Psikosomatik Malignant, di mana kata dokter jika beliau tidak hati-hati dalam mengatasi kesedihannya waktu itu, bisa jadi Pak Habibie dengan cepat bisa menyusul almarhumah istrinya.

and you know what? Saat itu, tim dokter menawarkan empat opsi untuk pemulihan Pak Habibie. Pertama, beliau harus masuk perawatan di rumah sakit jiwa. Kedua, beliau bisa tinggal di rumah dengan pengawasan dari tim dokter. Ketiga, beliau bisa curhat ke orang terdekat atau orang yang beliau percaya. Keempat, beliau menyelesaikan sendiri, yaitu mencurahkan isi hati kepada jiwa dan dirinya sendiri dengan cara menulis. 

Udah ketebak beliau kemudian memilih opsi yang mana? Yess, Pak Habibie memilih opsi keempat, menulis! Menurutnya, menulis ibarat me-restart dirinya sendiri. 

Ketika beliau terkena Psikosomatik Malignant, beliau sadar sedang menyimpan energi-energi yang negatif. Dalam fase ini, organ-organ tubuh dirugikan, dan lama kelamaan bisa rusak. Beliau kemudian memilih untuk melepaskan energi-energi negatif tersebut dengan menuliskan perasaannya.


Tentunya tidak mudah bagi Pak Habibie menuliskan kembali memori-memori dan romansa yang beliau lewati bersama Ibu Ainun. Sudah dipastikan perasaan beliau mengalami pasang surut. Namun akhirnya beliau dapat melewati semua masa-masa sulit itu. 

Beliau juga menuliskan banyak puisi dan menumpahkan semua perasaan yang beliau rasakan. Hingga artikel pada Liputan 6 itu dimuat, beliau sudah menjalani terapi menulis selama tiga tahun dan terbukti dapat menjadi self-healing.

Pertanyaannya, pernahkah teman-teman merasakan ada "kegaduhan" dalam otak dan ingin menumpahkan dan mengurai rasa "gaduh" tersebut dalam bentuk tulisan, tapi justru bingung mau mulainya bagaimana? 

Udah, Tulis Aja!


Well, coba deh teman-teman mulai tuliskan saja apa yang ada di benak teman-teman. Menurut saya, istilahnya menulis bebas. Tulis saja apa yang sedang dilihat, apa yang didengar, apa yang dirasakan. Jangan pusing masalah ejaan, SPOK, pokoknya tuliskan saja semuanya.

Contohnya nih, anggap saja saya itu orangnya enggak enakan. Kalau ada orang yang omongannya menyakiti perasaan saya, walaupun mungkin dia bercanda misalnya, saya enggak bisa tuh berterus-terang ke orang yang bersangkutan untuk tidak ngomong gitu lagi ke saya. Akhirnya saya tuliskan saja di buku atau di secarik kertas:

Ya Allah, tu orang yak, ngomongnya nyakitin banget dah. Pengen banget rasanya gue samperin terus bilang ke dia "Bisa diem enggak sih?!" Iraaaeee
Biasanya, setelah nulis ini perasaan saya akan menjadi lebih rileks. Lalu kertasnya saya sobek-sobek dan buang. Begitulah, orang yang serba enggak enakan, pasti tahu rasanya. Iya kan?

Terus ada juga sih yang bilang, seharusnya orang yang kaya gitu langsung aja ditegur biar enggak semena-mena sama orang lain! 

Well, di sini kita bukan lagi ngebahas bagaimana membuat orang jera atau bagaimana cara mengubah orang lain menjadi lebih baik yaa. Tapi kita lagi ngebahas bagaimana cara menumpahkan emosi yang tidak bisa disalurkan secara lisan. Jadi, ya itu tadi: tuliskan saja semua.

Nulis Puisi


Menulis puisi kelihatannya sulit ya? Tapi menurut saya, tidak ada salahnya mencoba. Saya sebelumnya tidak bisa menulis puisi (maksudnya sampai sekarang sih belum pandai buat puisi yaaa). Karena menurut saya, orang yang menulis puisi itu pasti orangnya romantis. Sedangkan saya bukanlah orang yang romantis. Ternyata, beberapa kali saya mencoba mengekspresikan perasaan saya dalam bentuk puisi, dan rasanya menyenangkan. 

Banyak tulisan puisi saya yang masih tersimpan di draft dan sampai sekarang saya belum publish. Sebagian pernah saya publikasikan namun kembali saya ubah menjadi draft. Karena hampir semua puisi yang saya tulis tidak mengikuti alur, atau pakem atau aturan-aturan puisi yang ada. Jadi, saya biarkan saja puisi-puisi itu "bersemayam" di draft

Entah di kemudian hari saya akan mempublikasikan puisi-puisi itu di blog atau selamanya berada di draft bukanlah masalah bagi saya. Yang penting saya telah menuliskan dan meluapkan perasaan yang saya rasakan di saat saya menulis puisi tersebut. 

And trust me! Rasanya lumayan legaaaaa. Jadi, enggak ada salahnya mencoba!

Nulis Surat


Menulis surat, mengungkapkan segala apa yang kita rasakan tanpa perlu mengirimkan suratnya kepada orang yang bersangkutan. 

Misalnya, seringkali saya merasa rindu dengan almarhumah ibu saya, yang enggak mungkin bisa saya temui dan memeluknya secara langsung. Segala rasa kerinduan itu saya tuliskan dalam bentuk surat. Rasanya lega aja, menanyakan bagaimana kabarnya dan kemudian mengabarkan keadaan saya hari ini. Memberitahu beliau gambaran tentang hidup yang pastinya akan terasa ringan jika seandainya beliau masih ada.... dan sebagainya. 

Well, menulis memang terbukti banget bisa menjadi self-healing therapy. Kuncinya, ketika menulis kita harus sebisa mungkin jujur dengan apa yang kita alami dan rasakan. Jangan pernah mencoba membohongi perasaan sendiri. Ungkapkan saja semua yang ada.

Sebenarnya tulisan ini juga adalah hasil dari kepenatan yang saya rasakan akhir-akhir ini.  Saya bingung mau memulai dari mana dan sangat bingung mau menulis tentang apa. Namun akhirnya tulisan ini muncul begitu saja setelah beberapa jam saya duduk di depan laptop. 

Pada akhirnya, saya berdoa, semoga orang yang menjadi inspirasi tulisan saya kali ini selalu dalam keadaan tenang, bahagia, sehat, aman, damai sentosa. Entah di alam manapun dia berada. 

Kita terpisah ruang dan waktu. Luka mungkin bisa saja sembuh, namun rindu itu selalu kambuh 


Related Post



Post a Comment

2 Comments

  1. baru kejadian kemarin, tapi sebenarnya hal-hal yang membuat sedih, kerap kali dituangkan lewat tulisan. entah di atas kertas yang sedang ada di sekitar, udah ya tulis aja, asal ngerasa plong gitu
    trus aku biasanya juga bikin status di whatsapp, tapi hanya aku sendiri yang bisa baca. lepas 24 jam, udah lupa itu marahnya kenapa, wkwkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. yaa kaann? berarti aku nggak sendiri yeay ada temennya wkwk

      Delete